Indonesia 11 Besar Negara Pembajak Software

 

http://assets.kompas.com/data/photo/2008/02/20/161929p.JPG
Pelanggaran hak cipta software komputer di Indonesia masih tinggi dan bentuknya pun beragam.
Hal ini dikatakan oleh Sekjen Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan, Justisiari P Kesumah, pada Senin (9/7/2012).
Pelanggaran yang terjadi seperti perbanyakan secara ilegal, penggunaan software tanpa lisensi oleh individu dan perushaaan untuk kegiatan komersial, juga pemasangan software tanpa lisensi oleh penjual hardware.
“Berdasarkan International Data Cooperation (IDC) yang disiarkan pada April 2012, Indonesia masih menempati peringkat ke-11 dengan jumlah peredaran software bajakan sebesar 86 persen, dengan nilai kerugian 1,46 miliar dolar AS atau Rp 12,8 triliun,” katanya dalam acara sosialisasi “Program Mal IT Bersih” di Yogyakarta.
Ia mengatakan tingginya angka pembajakan itu berdampak negatif terhadap negara, antara lain berkurangnya potensi penerimaan negara di sektor pajak, hilangnya peluang kerja, berkurangnya kreativitas membuat software sendiri, serta menurunnya daya saing bagi industri kreatif di Indonesia.
Guna mengantisipasi pelanggaran ini, Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bekerja sama dengan Mabes Polri dan Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menggelar “Program Mal IT Bersih” dari pembajakan software.
Program ini diselenggaran Juli hingga November 2012 di beberapa kota besar di Indonesia, antara lain Yogyakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Sementara itu, Direktur Penyidikan Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Muhammad Adri mengatakan pelanggaran hak cipta software berada pada taraf yang meresahkan.
“Pelanggaran hak cipta ini tidak saja menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga menurunkan kreativitas, dan menurunkan kepercayaan dari negara-negara produsen,” katanya.
Berikut peringkat negara dengan tingkat pembajakan terbesar:
1. Georgia
2. Zimbabwe
3. Bangladesh
4. Moldova
5. Yemen
6. Armenia
7. Venezuela
8. Belarus
9. Libya
10. Azerbaijan
11. Indonesia
12. Ukraina
13. Sri Lanka
14. Irak
15. Pakistan
16. Vietnam
17. Algeria
18. Paraguay
19. Nigeria
20. Kamerun


Robot Badminton Penguji Aplikasi Penghemat Energi 


Bagaimana rasanya bermain badminton dengan robot? Di Flander's Mechatronics Technology Center (FMTC) di Belgia para peneliti sedang membangun robot yang bisa bermain badminton, lapor Euronews (7/2/2013).
Sistem penglihatan stereo dipasang di tubuh robot untuk mendeteksi pergerakan shuttlecock dari dua sudut pandang, sehingga robot memiliki penglihatan stereo. Setelah mengukur jarak posisi shuttlecock, perangkat lunak robot kemudian akakn memutuskan gerakan apa yang akan dilakukannya untuk memukul balik.
Wim Symens, direktur teknis FMTC di Leuven, Belgia mengatakan, “Kami memutuskan membangun robot badminton untuk mendemonstrasikan terknologi baru yang sedang kami kembangkan. Alasan mengapa kami memilih sebuah robot badminton adalah karena kami pikir ini akan menjadi alat peragayang sangat meyakinkan, yang benar-benar menarik perhatian. Robot badmnton belum ada sebelumnya, ini adalah yang pertama dibuat dan setiap orang bisa bermain badmnton melawan robot.”
Robot dapat menagkis serangan shuttlecock berkecepatan hingga di atas 400 km perjam dengan waktu renspon hanya sepersekian detik.
Tidak hanya untuk permainan, robot badminton bernama “JADA” ini merupakan kelinci percobaan bagi para peneliti untuk menguji aplikasi perangkat lunak yang sedang mereka kembangkan untuk mendesain mesin hemat energi. Dengan teknologi aplikasi baru itu, nantinya diharapkan lahir rancangan-rancangan mesin hemat energi. Dengan aplikasi itu, sejauh ini peneliti sudah berhasil mengurangi konsumsi energi yang dipakai robot sebanyak 50%.
 Internet Membuat Siswa AS Sulit Konsentrasi dan Berdaya Ingat Pendek
 
 Guru-guru mengatakan, zaman digital mempunyai pengaruh baik dan kurang baik pada generasi remaja belasan tahun Amerika. Lebih dari 2.000 guru SMP dan SMA mengikuti survei online melalui internet. Para peneliti juga berbicara dengan guru-guru dalam kelompok-kelompok inti.

Tujuh puluh lima persen guru mengatakan, internet dan mesin-mesin pencari digital mempunyai pengaruh yang “pada umumnya positif” pada kebiasaan dan keterampilan siswa-siswa mereka dalam melakukan penelitian. Tetapi,  87 persen guru sepakat bahwa teknologi ini menciptakan generasi yang “sulit berkonsentrasi dan memiliki daya ingat yang pendek”. Enam puluh empat persen mengatakan, teknologi ini “mengurangi konsentrasi murid-murid dan bukannya membantu mereka secara akademis”.

Banyak siswa berpikiran bahwa “melakukan penelitian”  berarti hanya mencari informasi cepat lewat Google.

Proyek Internet PEW melakukan survei itu bersama College Board dan National Writing Project. Kebanyakan guru memberi pelajaran pada murid-murid yang masuk kelas khusus yang disebut Advanced Placement atau Penempatan Tingkat Lanjut, dan memberi pelajaran tingkat perguruan tinggi bagi siswa-siswa SMA.

Judy Buchanan, Wakil Direktur National Writing Project dan salah seorang penulis laporan tersebut, mengatakan, peralatan riset digital membantu siswa lebih banyak dan lebih cepat belajar.

“Guru-guru sangat senang dengan alat-alat ini karena membuat belajar menyenangkan dan mengasyikkan. Remaja menyukai alat-alat ini. Tetapi, tujuannya adalah  membantu mereka membuat tulisan yang penuh arti, bukan hanya untuk sekedar pengetahuan untuk diri sendiri,”dikutip voaindonesia.com, Rabu (30/01/2013).

Satu masalah lain yang didapati survei itu adalah banyak murid tidak mempunyai kemampuan dalam memanfaatkan teknologi digital. Dengan kata lain, mereka sangat percaya pada informasi yang mereka dapatkan di internet.

Buchanan mengatakan siswa-siswa ini tidak mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menilai mutu informasi di internet.
“Banyak yang harus dipelajari tentang bagaimana mengetahui sumber-sumber yang dapat dipercaya. Ini sesuatu yang harus diajarkan dan diperhatikan.

Seperti juga hal-hal lain di dunia, di mana sesuatu bisa terjadi dengan cepat, kita perlu memiliki cara untuk  menilai kembali, memikirkan, dan menganalisis informasi yang kita peroleh. Para guru bisa mengajarkan hal itu”.

Persoalan lain yang ditemukan dalam survei tersebut adalah  cepatnya menemukan informasi di internet. Para guru mengatakan, akibatnya adalah berkurangnya minat dan kemampuan murid untuk bekerja keras mencari jawaban yang tepat. Mereka mengatakan, para siswa terlalu  tergantung pada mesin pencari atau internet dan  tidak menggunakan cukup banyak buku-buku  atau  mencari bahan-bahan di perpustakaan.

Banyak guru juga khawatir bahwa internet memudahkan  murid-murid untuk menyalin atau mengutip karya orang lain, bukannya menggunakan kemampuan mereka sendiri.

 Separuh Anak Rusia Mengakses Pornografi dan Judi Online 
 Lebih dari separuh anak-anak kecil di Rusia pengguna internet mengunjungi situs-situs dengan konten berbahaya, termasuk pornografi, kata Pavel Astakhov dari ombudsman hak-hak anak Rabu (27/2/2013) dilansir Ria Novosti.
“Sekitar 40 persen anak berusia di bawah 14 tahun mengunjungi situs-situs porno,” kata Astakhov, dalam laporan yang disampaikannya di sebuah konferensi internasional tentang keamanan informasi untuk anak-anak.
Menurut laporan Astakhov, anak-anak mencakup 18 persen dari total 10 juta orang pengguna internet aktif di Rusia.
Sebanyak 19 persen anak kecil mengunjungi situs berisi kekerasan, 16 persen situs judi online, 14 persen situs yang berhubungan dengan narkoba dan 11 persen mengunjungi situs-sistus ekstrimis.
Untuk membuka situs-situs berbahaya itu, anak-anak lebih suka menggunakan telepon genggam karena dianggap lebih aman untuk privasinya, imbuh Astakhov.

0 komentar:

Posting Komentar